-->

Pertanyaan Sulit Mengenai Kepemimpinan Dalam Islam

Daftar Isi [Tampil]

Assalamualikum sahabat makanomi kembali lagi admin berbagi pertanyaan susah dan berbobot untuk manajemen kepemimpinan dalam bidang islam di indonesia dan jawabannya yang dapat menjadi acuan dan menjawab segala contoh soal atau kasus dalam pembelajaran.

Postingan ini juga menjadi materi tambahan untuk manajemen kepemimpinan dan dapat menjadi berbagai soal essay, uts, uas bahkan pilihan ganda.

Pertanyaan sulit mengenai kepemimpinan dalam Islam

Secara rasional setiap komunitas membutuhkan seorang pemimpin. Karena sebagai makhluk sosial, manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Untuk mencapai hubungan yang harmonis diantara anggota masyarakat, maka diperlukan seorang pemimpinan yang mengatur dan menata interaksi sosial tersebut.

Akal sulit menerima apabila ada sekelompok masyarakat hidup tanpa seorang pemimpin. “Nabi Muhammad saw berpesan, apabila kalian bertiga atau lebih dalam suatu perjalanan, maka angkatlah salah seorang diantara kalian sebagai pemimpinnya.”

Ini menunjukkan signifikasi seorang pemimpin dalam masyarakat.

Secara normatif, al-Qur’an menggunakan tiga term yang menunjukkan makna kepemimpinan.

Khilafah

“Khilāfah” adalah sebuah sistem kepemimpinan yang pernah dirumuskan dan diaplikasikan pada masa islam klasik. Para ulama masa lalu telah mencoba memahami dan memformulasikan konsep khilafah sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an tentang kehidupan bermasyarakat, berpolitik dan berbangsa.

Allah Ta’ala berfirman,

 وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah/2: 30)

Pertanyaan malaikat bukan protes atau kritik kepada Allah Ta’ala tetapi keinginan mereka untuk menjadi khalifah karena mereka telah bertasbih dan menyucikan-Nya. Permohonan ini juga menjadi isyarat bahwa khilafah itu bukan sistem politik dunia tetapi sistem universal yang berlaku dunia dan akhirat hingga malaikat berhasrat juga untuk menjadi khalifah. Namun, Allah Ta’ala menjawab bahwa pengetahuan malaikat tentang itu tidak cukup hingga Allah Ta’ala menegaskan bahwa Dia Maha tahu dari apa yang diketahui oleh malaikat. Dari sini dapat dipahami bahwa makna khilafah bersifat universal.

Wilayah

“Wilayah” artinya kepemimpinan. Orang yang memimpin disebut wali. Secara umum pemimpin umat adalah Allah Ta’ala, Rasulullah saw dan orang-orang beriman.

Allah Ta’ala berfirman.

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. al Mā’idah/5: 55).

Para ulama berbeda pendapat tentang makna wali. Sebagian berpendapat bahwa makna wali adalah “teman dekat.” Sebagian yang lain berpendapat wali artinya “penolong” dan sebagian ulama mengatakan wali adalah “pemimpimpin.”

Dalam terminologi keindonesiaan, kata wali bermakna pemimpin, seperti kata wali kota artinya pemimpin kota bukan penolong kota dan bukan pula teman kota.

Allah Ta’ ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۚ أَتُرِيدُونَ أَن تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُّبِينًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah ?” (QS. al-Nisā’/4: 144)

Ayat ini menjelaskan larangan mengangkat orang kafir sebagai pemimpin bukan larangan berteman dengan orang kafir.

Imamah

“Imamah” adalah sistem kepemimpinan dan orang yang memimpin disebut imam. Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat umum, baik kepemimpinan negara atau kepempinan “ibadah mahdah” seperti shalat. Pemimpin dalam ruang lingkup orang-orang yang bertakwa adalah “imām li al-muttaqīn” atau pemimpin bagi bagi orang-orang yang bertakwa.

Pemimpin orang yang beriman disebut “imām li al-mukminin” atau pemimpin orang beriman dan pemimpin manusia disebut “imām li al-nās” atau pemimpin seluruh manusia tanpa membedakan agama, suku, daerah dan sebagainya. Kepemimpinan ketiga inilah yang pernah “eksis” pada masa Rasulallah saw.

 Allah Ta’ala berfirman

وَإِذِ ابْتَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ ۖ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا ۖ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۖ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata, Dan saya mohon juga dari keturunanku. Allah berfirman, Janji-Ku ini tidak mengenai orang yang yang zalim.” (QS. al-Baqarah/2: 124)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin harus adil dan orang-orang zalim tidak boleh menjadi pemimpin. Nabi Ibrahim adalah hamba Allah, setelah melalui proses pendekatan diri kepada Allah, hingga naik menjadi kekasih Allah atau “khalilullāh.” Setelah menjadi “khalilullāh” naik lagi menjadi rasulallah dan saat beliau menjadi Rasulallah saw, Allah Ta’ala mengangkatnya menjadi “imam” bagi seluruh manusia. Saat Nabi Ibrahim berharap agar semua keturunannya menjadi imam, Allah Ta’ala menjawab bahwa kepemimpinan tidak akan jatuh ke tangan orang-orang yang zalim.

Syarat pemimpin

Pemimpin adalah orang yang paling berkualitas diantara anggota komunitas. Allah Ta’ala Maha Tahu siapa diantara umatnya yang paling berkualitas hingga diangkat menjadi nabi dan rasul. Nabi dan rasul adalah “al-musthafā” atau orang pilihan dan yang memilih dan mengangkatnya adalah Allah Ta’ala.

Pemimpin yang bukan nabi dan rasul dipilih dan diangkat oleh orang-orang diantara mereka.

Karena yang mengetahui orang cerdas hanyalah orang cerdas. Memberikan hak pilih kepemimpinan kepada orang awam hanya akan melahirkan kegagalam dalam memilih pemimpin. Oleh sebab itu politik adalah perwakilan komunitas bukan perwakilan pribadi. Al-Qur’an mengisyaratkan umat islam dengan “khairu ummat”, umat terbaik atau umat pilihan.

Allah Ta’ala berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imrān/3:110).

Rasulallah saw ditanya tentang “khairu umat.”

Beliau menjawab, khairu umat itu mempunyai empat syarat, yaitu; Pertama, mereka yang paling banyak membaca teks maupun konteks. Kedua, orang yang paling bertaqwa, baik individual maupun sosial. Ketiga, orang yang paling banyak membangun jaringan silaturahim. Keempat, mereka selalu melalukan amar ma’ruf dan nahi munkar.

Dari beberapa ayat dan riwayat para ulama memformulasikan bahwa syarat pemimpin itu adalah.

Adil

  1. Berilmu pengetahuan yang luas
  2. Sehat indrawi seperti sehat pendengaran, penglihatan dan pembicaraan.
  3. Sehat anggota tubuh dari kekurangan yang menghalanginya melakukan aktivitas.
  4. Memiliki pemikiran yang cerdas dalam menyikapi perkembangan politik dan kemaslahatan umat.
  5. Berani dalam menegakkan kebenaran.
Pertanyaan sulit mengenai kepemimpinan dalam Islam

Apakah Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin?”

Berbicara mengenai kepemimpinan perempuan tentu tak lepas dari stigma-stigma yang ada terkait perempuan ketika menjadi pemimpin. Kabar buruknya, stigma-stigma tersebut cenderung berkonotasi negatif karena justru mendiskriminasi perempuan. Setidaknya saya membagi menjadi tiga bagian stigma kepemimpinan perempuuan yang sering ada. Stigma-stigma tersebut adalah :
  • Adanya stigma bahwa laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan. Al-Razy dalam Tafsir al-Kabir mengungkapkan Laki-laki pantas menjadi pemimpin karena keunggulan  akal  dan fisiknya. Hal tersebut berlandaskan al-Qur’an surat an-Nisa’ : 34, sehingga banyak yang menyimpulkan bahwa perempuaan tidak layak menjadi pemimpin. Sebab laki-laki merupakan pemimpin perempuan.
  • Adanya stigma bahwa perempuan dilarang menjadi pemimpin. Biasanya yang menjadi landasan Hadis Nabi SAW yang Bukhori riwayatkan, yang artinya : “ apabila suatu kaum menyerahkan urusannya kepada perempuan maka rusaklah kaum itu”
  • Adanya stigma bahwa perempuan hanya memiliki tugas di wilayah domestik, sehingga tidak pantas untuk bergerak di ranah publik. Diperkuat lagi dengan anggapan bahwa, “perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi toh akhirnya kembali juga ke dapur”. Bahkan Filosofi Jawa menyebutkan perempuan sebagai ‘konco wingking’ yang  tugasnya  hanya  seputar  tiga  M,  yaitu Macak, Masak, dan Manak. Sehingga masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa kepemimpinan harus laki-laki emban.

Cara Menjawab Stigma Tersebut

Perlu kita pahami bahwa pada dasarnya Allah menciptakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, semata-mata bertujuan untuk menghambakan pribadinya kepada Allah. Islam datang membawa ajaran yang egaliter, persamaan, dan tanpa ada diskriminasi antara jenis kelamin

Dengan demikian, Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Baik dalam hal kedudukan, harkat, martabat, kemampuan, dan -kesempatan untuk berkarya termasuk menjadi pemimpin.

Seperti dalam QS. Al-Hujurat Ayat 13 yang artinya :

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa”.

Dari ayat ini dapat sama-sama kita ketahui bahwa yang mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Bukan berdasarkan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan.

Dalam QS. Al Baqarah: 30 Allah berfirman:

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.’ Mereka berkata, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?’ Dia berfirman, ‘Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’”

Dari ayat tersebut dapat kita ketahui bahwa baik perempuan maupun laki-laki Allah ciptakan untuk menjadi khalifah di bumi, baik laki-laki maupun perempuan.

Penafsiran Terdahulu Dipengaruhi Situasi dan Iklim Politik Patriarkat

Di sisi lain, Dari aspek teologis banyaknya dalil-dalil dari Al-Qur’an mapun hadits yang terlihat mendiskriminasi perempuan, utamanya yang berkaitan dengan kepemimpinan perempuan.

Seharusnya dalil-dalil tersebut ditafsirkan dengan benar dan komprehensif dengan aspek bayani burhani irfani. Selama ini penafsiran terhadap al-Qur’an dan Hadis terdahulu dipengaruhi situasi dan iklim politik patriarkat. Sehingga hasil tafsirnya mengandung bias gender.

  • Pertama, terkait stigma laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan surat Annisa’ : 34 Arrijal qawwamun ala an-Nisa. Pada dasarnya konsep qawwam dalam al-Qur’an surat an-Nisa’: 34 adalah laki-laki sebagai pemimpin perempuan dalam lingkup rumah tangga dalam hal mencari nafkah.

    Hal ini ditegaskan dengan kewajiban laki-laki untuk memberi nafkah kepada perempuan, bukan terkait relasi antara perempuan dan laki-laki dalam memimpin di ranah publik. Oleh karena itu, ayat tersebut tidak bisa menjadi acuan untuk melarang perempuan tampil sebagai pemimpin publik seperti seperti presiden atau yang lainnya.
  • Kedua, pelarangan kepemimpinan perempuan juga bersandar pada Hadis Nabi SAW yang Bukhori riwayatkan ketika beliau mendengar berita bahwa masyarakat Persia telah memilih Putri Kisra sebagai pemimpin. Kemudian Nabi bersabda, “apabila suatu kaum menyerahkan urusannya kepada perempuan maka rusaklah kaum itu.“

Dalam memahami Hadis tersebut perlu kita cermati keadaan yang sedang berkembang pada saat hadis tersebut. Dan perlunya informasi yang memadai mengenai latar belakang kejadiannya.

Kisah Pengangkatan Perempuan Menjadi Pemimpin di Kalangan Kerajaan Persia

Sebelum kejadian itu, kerajaan Persia banyak terjadi kekacauan dan pembunuhan yang kerabat raja lakukan, sehingga seorang perempuan yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kira sebagai ratu di Persia. Hal tersebut karena ayah dan saudara laki-laki Buwaran telah mati terbunuh. Peristiwa ini terjadi pada tahun 9 H.

Menurut tradisi yang berlangsung, di Persia saat itu jabatan kepala negara laki-laki yang memegangnya. Pengangkatan Buwaran sebagai ratu menyalahi tradisi saat itu, karena yang naik menjadi pemimpin saat itu bukan laki-laki.

Pada waktu itu derajat kaum perempuan berada di bawah kaum laki-laki. di mana perempuan sama sekali tidak ikut serta mengurus kepentingan umum, terlebih masalah negara. Karena saat itu masyarakat lebih memercayai laki-laki dalam mengurus urusan negara daripada perempuan.

Dengan setting sosial yang seperti itu wajarlah Nabi yang memiliki kearifan tinggi bersabda seperti hadis di atas bahwa barang siapa yang menyerahkan urusan kepada perempuan tidak akan sukses.

Bagaimana mungkin akan sukses jika masyrakat tidak menghargai pemimpinnya. Salah satu syarat untuk menjadi seorang pemimpin adalah kewibawaan, sedangkan perempuan pada saat itu perempuan tidak memiliki wibawa untuk menjadi pemimpin (Novianti, 2008).

Oleh karena itu, seharusnya saat ini tidak ada lagi pertanyaan, “apakah perempuan bisa menjadi pemimpin?” karena seharusnya pemimpin itu kita lihat dari kualitasnya bukan jenis kelaminnya.

Dalam kepemimpinan, nilai yang paling dominan adalah kualitas kepribadian yang meliputi kemampuan (ability), kecakapan (capacity), kesanggupan (faculty), dan kepandaian (skill) (Novianti, 2008).

Dalam kenyataannya juga banyak perempuan yang berhasil menjadi pemimpin melebihi kepemimpinan laki-laki. Misalnya Ratu Saba’ yang memimpin Yaman (qs. An- naml :44), Ratu Balqis, cleopatra (51-30 SM) di Mesir adalah seorang perempuan yang kuat, ganas dan cerdik, semaramis (abad ke 8 SM). Di era modern ada margaret tathcer di Inggris, Indira Gandhi di India, Benazir di Pakistan (Shihab, 2018), dan di Indonesia ada Ibu Megawati yang berhasil menjadi presiden Indonesia.

Lantas, Apa yang bisa kita lakukan ?

Tidak ada cara yang lebih baik dari membuktikan bahwa perempuan dapat berperan menjadi pemimpin.

Ditulis Oleh : M A K A N O M I
Perhatian..!!! Apabila Ada Link Download Error Di Pertanyaan Sulit Mengenai Kepemimpinan Dalam Islam. Mohon Kiranya Untuk Pemberitahuannya Lewat Komentar Ya Sobat.klik DISINI

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1


Iklan Tengah Artikel 2


Iklan Bawah Artikel